Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Baca Novel HINAAN DARI KELUARGA SUAMI Part 7 ( Miskin bukan berarti bodoh )

Baca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Part 7 ( Miskin bukan berarti bodoh ) - Lagi suntuk dan pengen baca novel, namun tidak punya ide novel apa yang harus dibaca?

Tidak perlu risau, Berikut ini kakceng ada link baca dan cara baca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Part 7 karya Rita Febriyeni secara gratis dan lengkap. Mari kita baca!

Novel HINAAN DARI KELUARGA SUAMI Part 7 ( Miskin bukan berarti bodoh )

Novel HINAAN DARI KELUARGA SUAMI Part 7 ( Miskin bukan berarti bodoh )

"Lagian rumah ini cukup kamar, kok, Rin. Lagian jika kalian ngontrak pasti keluarin duit banyak. Lah di sini nggak usah bayar." Ibu berusaha merayuku agar tak jadi pergi.

"Nanti aku carikan usaha buat Bayu yang cocok dengan kondisi kakinya. Mungkin buka counter jual pulsa atau token listrik. Itu kan nggak repot amat." Mas Jaka menimpali seperti ia punya solusi, seolah sangat pintar. Lagian kenapa tidak dari dulu saja ide itu.

Kuhela nafas besar. Menyimak sambil membaca maksud ucapan mereka. Sedikit pun aku tak tertarik. Cukup hinaan yang diterima selama ini.

"Rina! Rin!" Mas Bayu memanggil dari tepi jalan.

"Iya, Mas!" sahutku.

"Bayu! Sini!" Wajah ibu terlihat bersahabat memanggil putranya. Hanya saja tumben kok kelihatan baik. Biasanya mas Bayu seperti beban dalam hidupnya, terutama di hari tuanya, itulah yang sering dilontarkan di saat marah.

"Bayu, sini!" Kali ini kakak suamiku ikut memanggil. Wuih! Baik sekali cara memanggilnya, sambil tersenyum oy.

Akan tetapi mas Bayu malah terpana dengan alis bertaut. Aku tahu ia merasa heran kenapa dipanggil.

"Tunggu, Mas!" ucapku lalu menjinjing kardus dan tas, mulai melangkah.

"Rina! Kok masih pergi? Mm maksudnya, mau pergi juga?" Ibu mertua berusaha menghentikan langkahku.

"Sudahlah, Rin. Masak itu aja marah, lagian Inur nggak tersinggung kok. Iya kan, Nur?" Lalu ia memalingkan pandangan ke istrinya. Tapi tetap saja Inur tak bisa menyembunyikan betapa ia tak suka melihatku. Aku sih, tidak peduli.

"Bu, mantu gil* ini pamit ya, terima kasih atas hinaan selama ini." Lalu aku berlalu tanpa ragu.

"A-apa?"

Aku tak peduli mereka mau bicara baik ataupun tidak. Bagiku rumah mertua seperti rumah majikan, di mana aku harus bekerja jika bisa makan. Gaji kecil dan hinaan kuterima dalam diam.

"Rina!" Terdengar ibu mertua memanggil.

"Iiih! Ibu gimana sih? Udah jelas ia ngomong gitu masih juga dipanggil." Terdengar Inur berucap.

Tak ingin menoleh ke belakang. Cukup tetap lanjut melangkah tanpa ragu. Cukup, semuanya sudah cukup bagiku.

"Kok lama sih, Rin?" tanya mas Bayu. Keringatnya bercucuran karena panas matahari belum juga hilang.

"Nggak ada, Mas. Hanya ngobrol pamitan aja," jawabku.

"Pamitan? Buat apa?"

"Yaaa, karena kakak dan Ibumu minta kita tetap tinggal."

"Hah? Jadi karena itu mereka memanggilku?" Mata mas Bayu membulat sempurna. Tentu ia tak menyangka jika mas Jaka dan ibunya akan menahan kami.

"Ayok," ajakku sambil menyetop angkot.

Ada rasa lega akhirnya aku terlepas dari rumah itu. Tepatnya terlepas dari hinaan yang mengendap di hati. Keluarga suami yang seharusnya tempat berbagi suka dan duka, tapi ..., ah sudahlah.

Dua kali naik angkot berbeda, akhirnya kami sampai depan rumah ibuku. Rumah sangat sederhana di atas tanah yang lumayan luas. Mungkin karena rumah ibu kecil makanya kelebihan tanah terlihat luas.

Di samping rumah bertumpuk beberapa karung dan kantong sampah plastik besar. Tempat barang-barang hasil memungut sampah. Ya, jika tak mengulung orang tuaku makan apa. Lagian Yana masih untung bisa membiayai pendidikanya sendiri.

Terlihat ibu sedang memasukan beberapa botol bekas minuman ke karung kecil.

"Assalamu'alaikum," ucapku.

"Wa'alaikumsalam. Rina?" Ibu terkejut melihat kami melangkah masuk halaman rumah.

"Bu, aku pulang," jawabku merasa kangen pada wanita yang melahirkanku.

"Pak! Bapak! Rina pulang." Begitu bahagianya ibu menyambutku.

"Bu." Mas Bayu mengulurkan tangan ingin bersalaman.

"Jangan, Nak Bayu. Tangan ibu kotor," tolak ibu ramah.

"Rina?" Bapak pun menyambut kami dengan wajah senang.

Tak ada yang lebih baik dari pada rumah orang tua sendiri. Itu bagiku.

*

"Bapak senang akhirnya kalian mau tinggal di rumah ini," ucap bapak lalu meneguk kopinya.

"Maafkan aku yang tak mampu beli rumah untuk Rina, Pak. Aku ...." Mas Bayu merasa rendah setelah ia tak punya kaki dan tak ada kerjaan.

"Nak Bayu jangan begitu. Yang penting kalian tetap bersama dan saling mendukung. Lihat kami, kerjaan dari satu tong sampah ke tong sampah lain. Tapi tetap bersyukur karena Bapak tak berhenti berusaha."

Itulah yang sering diajarkan ibu dan bapak. Jangan pernah berhenti berusaha apalagi mengeluh.

"Bu, aku berencana mau buka warung nasi. Jadi Ibu dan Bapak tak usah ngulung lagi. Kita buka usaha ini bersama."

"Modal dari mana, Rin? Kamu punya modalnya?" tanya bapak.

Kuceritakan dari mana dapat uang. Dari awal belajar menulis hingga berani posting cerita di aplikasi prabayar. Orang tuaku mengangguk kecil menyimak dan mata mereka membulat saat kusebutkan nominal uang yang kudapat.

"Iya, Pak. Itulah kenapa aku ingin kita buka warung nasi Padang."

"Masya Allah, sebanyak itu?" Ibu masih tertegun dengan rupiah yang kusebutkan.

"Ia, Bu. Pokoknya kita buka warung nasi, bukan itu saja, nanti jika uangku cair lagi, kita beli perlengkapan laundry buat Yana buka usaha."

"Alhamdulillah, ada jalan selagi usaha. Ibu nggak nyangka kamu bisa nulis cerita. Iya sih kamu suka baca dari dulu. Tapi ini betul-betul membuat kami bangga."

Mungkin sebagian orang apa yang kulakukan belum apa-apa. Hanya menulis cerbung di aplikasi baca novel online. Tapi bagiku ini sebuah prestasi karena tak pernah duduk di bangku kuliah. Jangankan kuliah, SMA saja aku tak pernah. Selagi mau belajar dan fokus, Insya Allah ada hasilnya.

*

Semangat kami mulai membangun warung. Hari ini beli bahan bangunan seperti kayu dan beberapa sak semen. Warung sederhana dengan dinding semi permanen agar menghemat biaya. Untuk kursi dan mejanya, mas Bayu buat sendiri. Sementara bapak jadi pekerja membantu tukang bangunan agar menghemat upah.

"Yana senang Mbak balik ke rumah ini," ucap Yana sedang membuat seteko kopi.

"Nanti jika masih ada uang, kita buka laundry. Jadi kamu nggak usah kerja sama orang, Yan," tanggapku sambil menyusui Raka.

"Iya, Mbak. Oh ya, Mbak mm Kak Stela itu orang gimana?"

Loh, kok Yana menanyakan tentang adik iparku? Setahuku mereka tak pernah berteman, hanya sekedar bertegur sapa jika kebetulan bertemu di acara keluarga.

"Biasa aja sih, emang kenapa?"

"Kak Stela itu teman anak bosku, kemaren ketemu tapi ia bilang nggak kenal aku. Padahal aku udah sapa baik-baik."

Tak heran sih, Stela pasti malu kenal Yana yang hanya pegawai laundry. Baginya kami tak berpendidikan dan tak setara dengan dia.

"Besok ni jika ia merasa nggak kenal kamu, nggak usah disapa."

Sebenarnya ada rasa kesal. Stela memperlihatkan ke Yana jika ia tak menghargaiku. Oke, tak masalah. Mulai hari aku meninggalkan rumah ibunya, saat itu aku tak ingin tahu atau pun ikut campur masalahnya.

"Cepat bawa kopinya ke depan, lagian kamu juga ke sekolah kan?"

"Iya, ambil ijazah aja kok, Mbak."

Yana hebat bisa tamat SMA dari uang hasil kerjanya di laundry. Tak pernah mengeluh dan bahkan ia terlihat baik-baik saja. Jika anak muda seusianya sibuk nongkrong di kafe, Yana justru sibuk mencari uang agar sekolahnya tak putus. Karena kami sadar jika terlahir dari orang tua yang bukan orang kaya.

"Rin! Rina!" Terdengar ibu memanggil.

"Mbak dipanggil Ibu, tuh."

"Iya, Bu!" sahutku.

"Ibu mertuamu datang!"

Astaga, ibu mertua datang? Mau apa ia ke sini.

Aku berlalu masuk ke kamar. Raka dibaringkan di ranjang, lalu aku melangkah ke luar.

"Nah, itu Rina, Bu Ida," ucap ibu menujukku.

Bukan hanya ibu mertua, Stela pun juga datang berkunjung. Hanya saja Stela mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan seolah rumah ini gerah. Lagaknya seperti tuan putri saja.

"Rina, Raka mana? Ini ada jeruk." Ibu mertua menunjuk kantong kresek berisi jeruk di meja.

Tumben baik.

"Tidur, Bu," jawabku betusaha ramah.

"Yana, tolong bikinin teh," pintaku.

"Ya, Mbak," jawab Yana berlalu setelah meletakan minuman kopi di luar.

"Ada apa, Bu?" tanyaku mulai duduk. Tak terlihat mas Bayu ikut masuk. Bahkan ia tetap melanjutkan pekerjaanya di depan rumah. Ia terlihat cuek dengan kedatangan ibu dan adiknya.

"Gini, Rin. Sebaiknya kalian balik lagi ke rumah. Semenjak kalian tak ada, kami merasa ada sesuatu yang kurang."

Ucapan ibu mertua sama sekali tak menggugah hatiku.

"Iya, Mbak. Kukuku patah nyuci baju," timpal Stela.

"Hush!" Siku ibu mertua disenggolkan ke Stela.

"Oh mm, maksudku kami kangen Raka," poles Stela. Seperti baru nyadar dengan yang diucapkannya.

 "Iya, Rina." Ibu mertua seperti terpaksa senyum.

"Maaf, Bu. Kami mungkin netap di sini buka usaha. Lagian Mas Bayu juga semangat. Lihat tuh, ia membuat sendiri meja untuk warung kami," tolakku masih terdengar ramah.

"Buka usaha apa?"

"Warung kecil-kecilan, Bu."

"Silahkan minum, Kak, Bu." Yana meletakkan dua cangkir teh hangat di meja.

"Makasi, Yana."

"Sama-sama, Bu."

Entah kenapa aku merasa Stela tak menyukai Yana. Bahkan caranya menatap adikku terlihat sinis.

"Oh ya, Yan. Udah lulus SMA?" tanya ibu mertua seperti hanya basa basi. Terlihat ia berusaha ramah. Jika dilihat sekilas, mungkin orang tak akan percaya bagaimana ia memperlakukan aku dan mas Bayu di rumahnya.

"Sudah, Bu. Alhamdulillah," jawab Yana mulai duduk di sampingku.

"Tentu nggak bakalan kuliah ya? Maklumlah biaya kuliah mahal."

"Iya, Bu Ida. Kami hanya mengulung. Tapi sayang jika Yana nolak kuliah."

"Nolak kuliah, maksudnya?"

"Yana salah satu mahasiswi undangan di salah satu kampus negri, Bu."

"Hah? Kok bisa?" Justru Stela terkejut dengan suara lantang.

Bukan Stela saja yang terkejut. Aku pun begitu. Yana tak pernah cerita sebelumnya.

"Iya, Stela. Alhamdulillah Yana diterima di kampus negri dan dapat beasiswa." Ibu memperjelasnya.

"Tapi, tapi masuk kuliah juga mahal meskipun negri. Bagusan kerja aja biar bisa bantu orang tua."

Loh, kok Stela berucap seolah pendidikan itu tidak penting.

"Iya, biayanya mahal. Kerja di laundry pun belum tentu aku sanggup, Kak," jawab Yana lesu. Aku tahu pasti adikku ingin kuliah.

"Tuh kan benar. Bagusan carikan Yana jodoh aja, Bu. Toh ia sudah cukup umur bersuami."

Dan ibu mertua kenapa menganggap adikku tak layak sekolah tinggi.

"Iya, Bu Ida. Tapi jika kami punya biaya, tak akan dibiarkan Yana hanya tamat SMA." Ibuku saja bisa berpikir maju.

"Yana tetap kuliah, Bu. Apapun itu kita harus berusaha mencari biayanya," ucapku.

"Rin, sebaiknya kamu fokus bangun usaha. Lagian Bayu juga tak kerja. Biaya kuliah itu mahal loh. Lagian bagusan Yana dicarikan jodoh saja." Ibu mertua pun masih berucap seolah pendidikan Yana tak penting.

"Pendidikan itu penting. Jika Yana bisa kuliah kenapa harus cepat cari jodoh. Jika Ibu berpendapat itu, kenapa Stela tak dicarikan jodoh juga?"

Seketika ibu mertua dan Stela saling beradu pandang. Terlihat mereka seperti menahan kesal dengan raut wajah sewot.

"Rina, kok gitu ngomongnya ke mertuamu," tegur ibu. Ibu belum tahu sikap mereka padaku. Nanti pasti kuceritakan.

"Nggak apa-apa, Bu. Rina benar kalau pendidikan itu penting. Ngapain cepat kawin kalau masih mau sekolah tinggi."

Sebenarnya aku kesal. Ibu mertua secara tak langsung merendahkan kami yang tak mampu menguliahkan Yana. Justru aku ingin adikku juga berpendidikan. Aku yakin bisa menguliahkan Yana dengan hasil dari menulis. Tak ada yang tak mungkin jika berusaha dan berdo'a. Akan kutampar hinaan mereka dengan adikku juga bisa menempuh pendidikan tinggi.

Mas Bayu masuk dan mulai duduk.

"Oh ya, Bayu, kami ke sini ingin menjemput kalian balik lagi ke rumah. Nanti kalian bisa buka usaha counter jual pulsa atau token listrik. Dan Rina tetap bisa jadi penulis."

Astaga, sudah keluar pun dari rumahnya, hidup kami masih diatur.

---

Baca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Full Episode

Bagaimana kisah dari cerita dari novel ini selanjutnya? Untuk membaca novel yang satu ini silakan install aplikasi Fizzo yang bisa kalian unduh di Google Play Store, lalu buka aplikasinya dan cari di kolom pencarian dengan memasukkan judul lengkap "Hinaan dari Keluarga Suami" atau klik link dibawah ini.

Link Baca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Full Episode PDF: Disini

Kesimpulan

Demikianlah review kakceng tentang cara membaca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Part 7 ( Tak usah kenal kami ) Karya Rita Febriyeni. Sekian, semoga novel ini bisa menambah wawasan dan menarik untuk kalian. selamat membaca!