Novel HINAAN DARI KELUARGA SUAMI Part 13 ( Tak usah kenal kami )
Baca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Part 13 ( Tak usah kenal kami ) - Lagi suntuk dan pengen baca novel, namun tidak punya ide novel apa yang harus dibaca?
Jangan khawatir, Berikut ini kakceng ada link baca dan cara baca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Part 13 karya Rita Febriyeni secara gratis dan lengkap. Yuk kita baca!
"Ka-kamu?" Matanya membulat seiring ucapan gugup. Tepatnya mungkin tak percaya jika aku berani melempar wajahnya dengan uang lima ribu itu. Seketika wajahnya merah seperti malu atau amarah.
"Kenapa? Malu mengakui Suamiku adik kandungmu?"
"Hah? Jadi adikmu, Bro?" ucap temannya seakan terkejut.
"Parah lu, Bro ...."
"Tapi kok?"
Semua temannya berucap seakan tak percaya dengan yang kukatakan. Atau lebih tepatnya sangat terkejut.
"Kamu kira dirimu siapa berani mengakui suami cac*tmu ini adikku!" Mas Jaka menujuk mas Bayu. "Aku tak punya saudara cac*t atau pengemis. Jadi jangan berbuat seakan aku ini saudara kalian. Apa tidak malu mengakuinya?"
Astaga, ya Tuhan. Ia membenarkan kebohongannya dengan pintar membalikan fakta.
"Kamu kira aku juga mau mengakuinya? Sebenarnya aku juga malu mengakui kamu kakak suamiku. Kamu tau kenapa? Karena kami tak ingin punya saudara cac*t akhlak." Aku tak bisa mengalah membalas ucapanya.
"Apa kamu bilang!" Mas Jaka mengangkat tangannya ingin men*mparku. Akan tetapi ....
"Uh! Jangan sentuh istriku!" Mas Bayu menangkis tangan mas Jaka.
"Apa? Berani kamu melawanku!" Ia melototi suamiku.
Ini baru pertama kalinya mas Bayu membentak kakaknya setelah ia tak bekerja lagi. Bahkan ia melawan saat aku hampir ditamp*r. Ya Tuhan, sudah lama aku menginginkan sikap suamiku seperti ini, aku merasa terlindungi meskipun dengan kekuranganya.
"Ya! Apa kamu tak malu menampar seorang wanita di depan umum? Dan perlu kamu ketahui, kami bukan pengemis, jika kebetulan aku menyebut namamu, mungkin ini hanya kebetulan. Satu hal lagi, aku juga malu mengakuimu saudaraku."
"Menjij*kan, memang kalian pengemis, kan?" Ia masih kukuh mengatakan kami pengemis.
"Kenapa sih memaksa kami jadi pengemis? Punya masalah apa hidupmu?" kataku tersenyum sinis.
"Mungkin ia bangga mengatakan kalau kita selalu menerima sedekah darinya. Aneh, menghayal menjadi seorang dermawan padahal ...." Mas Bayu pun berusaha membalas dengan menyambung ucapanku. Sungguh ini diluar dugaan, kukira mas Bayu akan sedih hingga ia jadi rapuh.
"Oh ya, nih lihat!" Kubuka dompetku. Masih ada uang untuk membeli becak motor yang belum dibayar, hingga uang pecahan lima puluh ribu terlihat padat. "Jadi uang lima ribumu tak berarti bagi kami. Makanya kulempar agar kamu sadar! Sudah gil* kali."
"Kamu bilang aku gil*!" Tentu ia tak terima ucapanku. Itu ucapan yang sering kuterima dari hinaanya dulu.
"Ya, apa lagi namanya menghayal di siang bolong. D*sar sakit!" Kali ini aku menc*m*ohnya.
"Parah lu, Bro. Masak bilang mereka pengemis?"
"Iya, bercanda jangan keterlaluan, Bro. Pantaslah mereka marah."
"Sudahlan, Bro, jangan bercanda merendahkan orang."
"Maaf ya, Mbak, Mas, kami kira ucapan Jaka benar," ucap seorang temannya padaku.
"Nggak apa-apa, Mas. Zaman sekarang banyak orang sudah makin gil*, mungkin efek stres di tempat kerja atau di rumah," jawabku.
Tiga orang temannya berlalu. Mas Jaka masih terpaku menatap kami. Sangat terlihat ia menghela napas besar, dan mungkin saja malu atau marah tertahan.
"Ayok, Rin," ajak mas Bayu masuk.
"Ya, Mas."
Lalu kami berlalu masuk. Saat melewati mas Jaka, kami pun melepar senyum sungging. Tak lama kemudian, ia juga berlalu dengan cepat seperti orang memendam emosi besar.
Mungkin ia tak menyangka jika aku dan mas Bayu berani melawan. Bahkan kami juga menyerangnya dengan kata-kata. Hinaan di depan umum harus ditindak. Manusia seperti Jaka, tak akan sadar jika belum merasakan sendiri, mungkin.
***
Makan dibawah pohon juga nikmat. Sebungkus berdua dan menikmati kebersamaan dengan cara sederhana. Ada rasa bangga dengan tindakan suamiku tadi, dalam kondisi kekurangan fisik, ia masih mencoba melindungiku. Alhamdulillah, mas Bayu sudah mulai kuat bertindak. Mudah-mudahan bukan sementara saja.
"Nanti saat jualan, makan di pinggir jalan akan terbiasa, Rin."
"Iya, Mas. Yang penting kita tidak menggaggu orang lain." Lalu aku menyuap nasi.
"Oh ya, Rin, kamu malu nggak punya suami cac*t?"
Baru juga enak mengunyah nasi, tiba-tiba mas Bayu berucap sesuatu yang sensitif. Kadang ia rapuh dan kadang terlihat tegar. Aku harus cari jawaban yang pas.
"Jika aku malu sudah dari dulu aku minta cerai, Mas. Justru aku malu punya suami tak berakhlak."
Mas Bayu tersenyum, lalu melanjutkan menyuap nasi.
***
Kami pulang dengan becak motor yang sudah dibeli. Ada rasa senang karena uang dari hasil menulis bisa buat usaha lainnya. Dan ini sangat terbantu karena bisa membuat semangat suamiku hidup. Tuhan punya cara tersendiri dalam hidupku, Alhamdulillah.
Dulu, tak pernah terbayang jika bisa mempunyai uang banyak. Banyak di sini bisa memiliki lebih dari sepuluh juta. Nominal yang sangat besar dan bahkan bertahun-tahun bekerja di rumah makan, belum tentu bisa terkumpul. Kecuali aku puasa setiap hari. Namun, fokus belajar dan mungkin juga anugerah bakat dari Tuhan, akhirnya aku bisa sukses. Sukses karena aku hanya tamat SMP saja bisa menulis dan menghasilkan uang. Alhamdulillah.
"Wah, becak motornya keren, Mbak."
Becak motor di parkir di halam depan. Orang tuaku dan Yana langsung mendekat. Mereka tampak senang. Lagian semenjak aku menetap di rumah orang tua, mereka tak pernah lagi pergi mengulung.
"Iya dong, besok Mas Bayu akan jualan keliling." Lalu aku melirik mas Bayu. Ia tampak senang menatap becak motor kami.
"Do'akan ya, Pak, Bu, biar usaha kita makin maju."
"Iya, Bayu, pasti kami do'akan," tanggapan ibu. Bapak pun langsung mengangguk.
***
"Rin, sholat dulu, nanti lanjutkan mengetik."
Mas Bayu baru selesai salat isya. Sajadah masih terbentang, ia mulai duduk di tepi ranjang.
"Ya, Mas, bentar," jawabku tetap melanjutkan mengetik.
"Rina, jangan tunda beribadah agar rezeki kita juga tak tertunda."
Astagfirullah'alaziim, ucapan mas Bayu tamparan bagiku yang sibuk mengejar duniawi. Benar aku belum salat isya karena waktunya masih lama. Ini sering kulakukan, menunda betibadah hanya karena pekerjaan dunia yang belum selesai. Ya Allah, ampuni dosaku.
"Iya, Mas," jawabku, lalu meletakkan ponsel, mulai beranjak dari ranjang.
Setelah berwudhu dan salat isya, aku pun melanjutkan mengetik cerbung. Bukan pekara yang mudah. Akhir-akhir ini aku sering kelelahan hingga tak fokus mengetik. Bahkan migren melanda jika berlama menatap layar ponsel. Namun aku tetap bersemangat, hidup harus ada usaha jika ingin sukses.
"Rin, mungkin lebih baik kita tak perlu bertegur sapa jika bertemu saudaraku di luar. Biar mereka tak malu dan kita pun tak dihina."
Waduh, mas Bayu mulai lagi. Ia terlihat sedih karena kini, kejadian tadi siang teringat.
"Tapi aku merasa beruntung karena kamu melindungiku, Mas," imbuhku.
Mas Bayu tersenyum. Mungkin ia merasa senang karena aku membutuhkannya. Ini salah satu trik yang kudapat dari Author tempatku bercerita. Berusaha memulihkan mental suamiku.
Menulis itu bukan sekedar menyajikan tulisan enak dibaca. Tapi juga sesuatu yang memberi dampak positif bagi pembaca. Itulah masukan dari penulis yang mengajariku menulis. Ilmu yang bermanfaat yang kucoba terapkan meskipun aku penulis baru.
***
Subuh, aku dan ibu memasak. Yana hanya mencuci baju saja karena ia diminta datang cepat ke laundry tempatnya bekerja. Dari cerita yang kudengar, temannya sedang sakit dan kerjaan juga menumpuk.
"Bapak nggak usah jualan, Bu. Biar aku dan Mas Bayu saja," ucapku sambil membungkus masakan.
"Tapi Bapakmu juga mau jual keliling, katanya nggak enak menunggu darimu aja, Rin."
"Jika aku mampu cari uang, Ibu dan Bapak di rumah saja. Lagian jika mau cari kegiatan, nanti kubeli isi warung, makanan ringan buat jajanan anak-anak saja, biar Bapak tak bosan, Bu."
Aku tahu bapak bukan tipe yang suka bermalasan. Kadang mengulung dari pagi hingga maghrib. Pernah satu hari menghasikan uang lima puluh dan bahkan seratus ribu. Namun hanya dua ribu disisakan di saku.
Masakan selesai dibungkus, lalu meletakkannya di becak motor. Mas Bayu sudah siap-siap melaju, mulai jualan. Bismillah, mudah-mudahan laris manis.
"Ayok, Mas," ucapku sudah duduk di atas becak.
"Tunggu, Rina!" Bapak tergopoh-gopoh mendekat.
"Ada apa, Pak?" tanya mas Bayu.
"Ini ponsel Yana ketinggalan. Mungkin tadi saking terburu-buru lupa bawa. Jika sempat, tolong diantar, Bay." Bapak menyodorkan ponsel.
"Ooh, iya, Pak." Mas Bayu menerima ponsel itu.
"Rin, kita antar dulu ponsel Yana sambilan jualan juga."
"Oh iya ya, Mas. Ayook."
Becak dilaju menuju tempat kerja Yana. Sambil ke sana, kami pun menjajakan masakan. Mas Bayu tampak semangat. Suaranya lantang meneriaki jualan kami. Ini yang kuinginkan, semangat dan berusaha bersama.
"Depan belok kiri, Mas," ucapku. Hanya aku yang tahu tempat kerja Yana karena sudah beberapa kali ke sana.
"Rumah di perumahan ini bagus-bagus ya, Rin. Pasti orang berduit semua penghuninya."
"Iya, Mas. Rumahnya besar-besar kayak di tivi," ujarku melihat ke sekitar. Ini memanjakan mata, lingkungan elite dan bersih. Oh Tuhan, kapan aku bisa punya rumah seperti itu.
Akhirnya kami sampai depan tempat kerja Yana. Terlihat dua mobil parkir di pinggir jalan. Saat kami parkir di dekat mobil, tiba-tiba pintu satu mobil dibuka. Empat orang anak muda keluar dari mobil. Namun, salah satu dari mereka sangat kukenal, ia adalah Stela.
"Mas, itu kan ...." Tak kulanjutkan berucap karena mas Bayu dan Stela saling beradu pandang. Tepatnya mata Stela membulat terkejut melihat kami.
"Ayok, Stel. Kok malah bengong," ucap seorang temannya.
"Lu kenal mereka?" tanya seorang temannya yang lain.
"Mm ... mm, ng nggak kok. Gua nggak kenal mereka," jawab Stela tampak ragu.
"Oooh, kirain kenal. Tapi kok tegang gitu mukanya?"
"Mm nggak kok, hanya kasihan aja pada mereka," jawab Stela. Lagi, baru kemarin kami bertemu mas Jaka dan kali ini bertemu Stela.
"Biar aku yang antarkan ponsel Yana, Rin, kamu tetap di sini," ujar mas Bayu.
"Ya, Mas," jawabku. Sepertinya mas Bayu punya tujuan, kubiarkan selagi ia tampak baik-baik saja.
Mas Bayu turun dari becak motor. Dengan tongkat ia melangkah menuju laundry dan harus melewati Stela dan teman-temannya. Namun, saat berada di depan mereka, mas Bayu menghentikan langkah.
"Ya, Nona ini benar, kami tak saling kenal. Lagian nggak usah merasa kasihan, aku masih bisa berjalan," ucap mas Bayu menatap Stela.
"Eh, Mas Bayu, Kak Rina!" Tiba-tiba Kelfin muncul dari arah rumah. Lalu ia melangkah semakin mendekat.
Akan tetapi, mata Stela membulat sempurna melihat reaksi Kelfin, yang tiba-tiba menyalami dengan mencium punggung tangan mas Bayu.
Bersambung ….
Link Baca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Full Episode PDF: Disini
Jangan khawatir, Berikut ini kakceng ada link baca dan cara baca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Part 13 karya Rita Febriyeni secara gratis dan lengkap. Yuk kita baca!
Novel HINAAN DARI KELUARGA SUAMI Part 13 ( Tak usah kenal kami )
Uang lima ribu dari mas Jaka, kulempar ke wajahnya. Jika kami tak diakui sebagai saudara, tak masalah. Tapi ia menghina kami. Tentu aku tak bisa diam, toh hidupku tak tergantung dia. Jika diam dihina bukan solusinya. Ia mempermalukan kami, justru aku balik mempermalukannya. Apa yang ia tanam itulah yang kupetik dan dikembalikan."Ka-kamu?" Matanya membulat seiring ucapan gugup. Tepatnya mungkin tak percaya jika aku berani melempar wajahnya dengan uang lima ribu itu. Seketika wajahnya merah seperti malu atau amarah.
"Kenapa? Malu mengakui Suamiku adik kandungmu?"
"Hah? Jadi adikmu, Bro?" ucap temannya seakan terkejut.
"Parah lu, Bro ...."
"Tapi kok?"
Semua temannya berucap seakan tak percaya dengan yang kukatakan. Atau lebih tepatnya sangat terkejut.
"Kamu kira dirimu siapa berani mengakui suami cac*tmu ini adikku!" Mas Jaka menujuk mas Bayu. "Aku tak punya saudara cac*t atau pengemis. Jadi jangan berbuat seakan aku ini saudara kalian. Apa tidak malu mengakuinya?"
Astaga, ya Tuhan. Ia membenarkan kebohongannya dengan pintar membalikan fakta.
"Kamu kira aku juga mau mengakuinya? Sebenarnya aku juga malu mengakui kamu kakak suamiku. Kamu tau kenapa? Karena kami tak ingin punya saudara cac*t akhlak." Aku tak bisa mengalah membalas ucapanya.
"Apa kamu bilang!" Mas Jaka mengangkat tangannya ingin men*mparku. Akan tetapi ....
"Uh! Jangan sentuh istriku!" Mas Bayu menangkis tangan mas Jaka.
"Apa? Berani kamu melawanku!" Ia melototi suamiku.
Ini baru pertama kalinya mas Bayu membentak kakaknya setelah ia tak bekerja lagi. Bahkan ia melawan saat aku hampir ditamp*r. Ya Tuhan, sudah lama aku menginginkan sikap suamiku seperti ini, aku merasa terlindungi meskipun dengan kekuranganya.
"Ya! Apa kamu tak malu menampar seorang wanita di depan umum? Dan perlu kamu ketahui, kami bukan pengemis, jika kebetulan aku menyebut namamu, mungkin ini hanya kebetulan. Satu hal lagi, aku juga malu mengakuimu saudaraku."
"Menjij*kan, memang kalian pengemis, kan?" Ia masih kukuh mengatakan kami pengemis.
"Kenapa sih memaksa kami jadi pengemis? Punya masalah apa hidupmu?" kataku tersenyum sinis.
"Mungkin ia bangga mengatakan kalau kita selalu menerima sedekah darinya. Aneh, menghayal menjadi seorang dermawan padahal ...." Mas Bayu pun berusaha membalas dengan menyambung ucapanku. Sungguh ini diluar dugaan, kukira mas Bayu akan sedih hingga ia jadi rapuh.
"Oh ya, nih lihat!" Kubuka dompetku. Masih ada uang untuk membeli becak motor yang belum dibayar, hingga uang pecahan lima puluh ribu terlihat padat. "Jadi uang lima ribumu tak berarti bagi kami. Makanya kulempar agar kamu sadar! Sudah gil* kali."
"Kamu bilang aku gil*!" Tentu ia tak terima ucapanku. Itu ucapan yang sering kuterima dari hinaanya dulu.
"Ya, apa lagi namanya menghayal di siang bolong. D*sar sakit!" Kali ini aku menc*m*ohnya.
"Parah lu, Bro. Masak bilang mereka pengemis?"
"Iya, bercanda jangan keterlaluan, Bro. Pantaslah mereka marah."
"Sudahlan, Bro, jangan bercanda merendahkan orang."
"Maaf ya, Mbak, Mas, kami kira ucapan Jaka benar," ucap seorang temannya padaku.
"Nggak apa-apa, Mas. Zaman sekarang banyak orang sudah makin gil*, mungkin efek stres di tempat kerja atau di rumah," jawabku.
Tiga orang temannya berlalu. Mas Jaka masih terpaku menatap kami. Sangat terlihat ia menghela napas besar, dan mungkin saja malu atau marah tertahan.
"Ayok, Rin," ajak mas Bayu masuk.
"Ya, Mas."
Lalu kami berlalu masuk. Saat melewati mas Jaka, kami pun melepar senyum sungging. Tak lama kemudian, ia juga berlalu dengan cepat seperti orang memendam emosi besar.
Mungkin ia tak menyangka jika aku dan mas Bayu berani melawan. Bahkan kami juga menyerangnya dengan kata-kata. Hinaan di depan umum harus ditindak. Manusia seperti Jaka, tak akan sadar jika belum merasakan sendiri, mungkin.
***
Makan dibawah pohon juga nikmat. Sebungkus berdua dan menikmati kebersamaan dengan cara sederhana. Ada rasa bangga dengan tindakan suamiku tadi, dalam kondisi kekurangan fisik, ia masih mencoba melindungiku. Alhamdulillah, mas Bayu sudah mulai kuat bertindak. Mudah-mudahan bukan sementara saja.
"Nanti saat jualan, makan di pinggir jalan akan terbiasa, Rin."
"Iya, Mas. Yang penting kita tidak menggaggu orang lain." Lalu aku menyuap nasi.
"Oh ya, Rin, kamu malu nggak punya suami cac*t?"
Baru juga enak mengunyah nasi, tiba-tiba mas Bayu berucap sesuatu yang sensitif. Kadang ia rapuh dan kadang terlihat tegar. Aku harus cari jawaban yang pas.
"Jika aku malu sudah dari dulu aku minta cerai, Mas. Justru aku malu punya suami tak berakhlak."
Mas Bayu tersenyum, lalu melanjutkan menyuap nasi.
***
Kami pulang dengan becak motor yang sudah dibeli. Ada rasa senang karena uang dari hasil menulis bisa buat usaha lainnya. Dan ini sangat terbantu karena bisa membuat semangat suamiku hidup. Tuhan punya cara tersendiri dalam hidupku, Alhamdulillah.
Dulu, tak pernah terbayang jika bisa mempunyai uang banyak. Banyak di sini bisa memiliki lebih dari sepuluh juta. Nominal yang sangat besar dan bahkan bertahun-tahun bekerja di rumah makan, belum tentu bisa terkumpul. Kecuali aku puasa setiap hari. Namun, fokus belajar dan mungkin juga anugerah bakat dari Tuhan, akhirnya aku bisa sukses. Sukses karena aku hanya tamat SMP saja bisa menulis dan menghasilkan uang. Alhamdulillah.
"Wah, becak motornya keren, Mbak."
Becak motor di parkir di halam depan. Orang tuaku dan Yana langsung mendekat. Mereka tampak senang. Lagian semenjak aku menetap di rumah orang tua, mereka tak pernah lagi pergi mengulung.
"Iya dong, besok Mas Bayu akan jualan keliling." Lalu aku melirik mas Bayu. Ia tampak senang menatap becak motor kami.
"Do'akan ya, Pak, Bu, biar usaha kita makin maju."
"Iya, Bayu, pasti kami do'akan," tanggapan ibu. Bapak pun langsung mengangguk.
***
"Rin, sholat dulu, nanti lanjutkan mengetik."
Mas Bayu baru selesai salat isya. Sajadah masih terbentang, ia mulai duduk di tepi ranjang.
"Ya, Mas, bentar," jawabku tetap melanjutkan mengetik.
"Rina, jangan tunda beribadah agar rezeki kita juga tak tertunda."
Astagfirullah'alaziim, ucapan mas Bayu tamparan bagiku yang sibuk mengejar duniawi. Benar aku belum salat isya karena waktunya masih lama. Ini sering kulakukan, menunda betibadah hanya karena pekerjaan dunia yang belum selesai. Ya Allah, ampuni dosaku.
"Iya, Mas," jawabku, lalu meletakkan ponsel, mulai beranjak dari ranjang.
Setelah berwudhu dan salat isya, aku pun melanjutkan mengetik cerbung. Bukan pekara yang mudah. Akhir-akhir ini aku sering kelelahan hingga tak fokus mengetik. Bahkan migren melanda jika berlama menatap layar ponsel. Namun aku tetap bersemangat, hidup harus ada usaha jika ingin sukses.
"Rin, mungkin lebih baik kita tak perlu bertegur sapa jika bertemu saudaraku di luar. Biar mereka tak malu dan kita pun tak dihina."
Waduh, mas Bayu mulai lagi. Ia terlihat sedih karena kini, kejadian tadi siang teringat.
"Tapi aku merasa beruntung karena kamu melindungiku, Mas," imbuhku.
Mas Bayu tersenyum. Mungkin ia merasa senang karena aku membutuhkannya. Ini salah satu trik yang kudapat dari Author tempatku bercerita. Berusaha memulihkan mental suamiku.
Menulis itu bukan sekedar menyajikan tulisan enak dibaca. Tapi juga sesuatu yang memberi dampak positif bagi pembaca. Itulah masukan dari penulis yang mengajariku menulis. Ilmu yang bermanfaat yang kucoba terapkan meskipun aku penulis baru.
***
Subuh, aku dan ibu memasak. Yana hanya mencuci baju saja karena ia diminta datang cepat ke laundry tempatnya bekerja. Dari cerita yang kudengar, temannya sedang sakit dan kerjaan juga menumpuk.
"Bapak nggak usah jualan, Bu. Biar aku dan Mas Bayu saja," ucapku sambil membungkus masakan.
"Tapi Bapakmu juga mau jual keliling, katanya nggak enak menunggu darimu aja, Rin."
"Jika aku mampu cari uang, Ibu dan Bapak di rumah saja. Lagian jika mau cari kegiatan, nanti kubeli isi warung, makanan ringan buat jajanan anak-anak saja, biar Bapak tak bosan, Bu."
Aku tahu bapak bukan tipe yang suka bermalasan. Kadang mengulung dari pagi hingga maghrib. Pernah satu hari menghasikan uang lima puluh dan bahkan seratus ribu. Namun hanya dua ribu disisakan di saku.
Masakan selesai dibungkus, lalu meletakkannya di becak motor. Mas Bayu sudah siap-siap melaju, mulai jualan. Bismillah, mudah-mudahan laris manis.
"Ayok, Mas," ucapku sudah duduk di atas becak.
"Tunggu, Rina!" Bapak tergopoh-gopoh mendekat.
"Ada apa, Pak?" tanya mas Bayu.
"Ini ponsel Yana ketinggalan. Mungkin tadi saking terburu-buru lupa bawa. Jika sempat, tolong diantar, Bay." Bapak menyodorkan ponsel.
"Ooh, iya, Pak." Mas Bayu menerima ponsel itu.
"Rin, kita antar dulu ponsel Yana sambilan jualan juga."
"Oh iya ya, Mas. Ayook."
Becak dilaju menuju tempat kerja Yana. Sambil ke sana, kami pun menjajakan masakan. Mas Bayu tampak semangat. Suaranya lantang meneriaki jualan kami. Ini yang kuinginkan, semangat dan berusaha bersama.
"Depan belok kiri, Mas," ucapku. Hanya aku yang tahu tempat kerja Yana karena sudah beberapa kali ke sana.
"Rumah di perumahan ini bagus-bagus ya, Rin. Pasti orang berduit semua penghuninya."
"Iya, Mas. Rumahnya besar-besar kayak di tivi," ujarku melihat ke sekitar. Ini memanjakan mata, lingkungan elite dan bersih. Oh Tuhan, kapan aku bisa punya rumah seperti itu.
Akhirnya kami sampai depan tempat kerja Yana. Terlihat dua mobil parkir di pinggir jalan. Saat kami parkir di dekat mobil, tiba-tiba pintu satu mobil dibuka. Empat orang anak muda keluar dari mobil. Namun, salah satu dari mereka sangat kukenal, ia adalah Stela.
"Mas, itu kan ...." Tak kulanjutkan berucap karena mas Bayu dan Stela saling beradu pandang. Tepatnya mata Stela membulat terkejut melihat kami.
"Ayok, Stel. Kok malah bengong," ucap seorang temannya.
"Lu kenal mereka?" tanya seorang temannya yang lain.
"Mm ... mm, ng nggak kok. Gua nggak kenal mereka," jawab Stela tampak ragu.
"Oooh, kirain kenal. Tapi kok tegang gitu mukanya?"
"Mm nggak kok, hanya kasihan aja pada mereka," jawab Stela. Lagi, baru kemarin kami bertemu mas Jaka dan kali ini bertemu Stela.
"Biar aku yang antarkan ponsel Yana, Rin, kamu tetap di sini," ujar mas Bayu.
"Ya, Mas," jawabku. Sepertinya mas Bayu punya tujuan, kubiarkan selagi ia tampak baik-baik saja.
Mas Bayu turun dari becak motor. Dengan tongkat ia melangkah menuju laundry dan harus melewati Stela dan teman-temannya. Namun, saat berada di depan mereka, mas Bayu menghentikan langkah.
"Ya, Nona ini benar, kami tak saling kenal. Lagian nggak usah merasa kasihan, aku masih bisa berjalan," ucap mas Bayu menatap Stela.
"Eh, Mas Bayu, Kak Rina!" Tiba-tiba Kelfin muncul dari arah rumah. Lalu ia melangkah semakin mendekat.
Akan tetapi, mata Stela membulat sempurna melihat reaksi Kelfin, yang tiba-tiba menyalami dengan mencium punggung tangan mas Bayu.
Bersambung ….
Baca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Full Episode
Bagaimana kisah dari cerita dari novel ini selanjutnya? Untuk membaca novel yang satu ini silakan install aplikasi Fizzo yang bisa kalian unduh di Google Play Store, lalu buka aplikasinya dan cari di kolom pencarian dengan memasukkan judul lengkap "Hinaan dari Keluarga Suami" atau klik link dibawah ini.Link Baca Novel Hinaan dari Keluarga Suami Full Episode PDF: Disini